Thank’s
“Maaf tuan. Tapi penyakit anda
sudah memasuki stadium akhir, dan itu artinya…”
“Artinya aku tak bisa hidup lebih
lama lagi?” sela Shin Young tak kuasa melihat keadaan dirinya saat ini.
“Ya. Anda betul. Hidup anda difonis
tinggal 6 bulan lagi.” Jelas dokter itu dengan nada pasrah.
Shin Young tak bergeming. Suasanapun
mulai hening. Ia hanya bisa duduk terpuruk di atas ranjang berbalut sprai putih
itu, sambil merenungi keadaannya. wajahnya yang sepucat susu terlihat kosong.
Dokter yang ada di hadapannya pun hanya bisa diam memahami perasaan Shin Young.
ia tak bisa berbuat apa-apa selain menyampaikan kabar buruk ini.
“aku ingin pulang hari ini juga.” Ucap
Shin memecah keheningan.
“apa maksudmu? Itu akan membuat
semuanya makin memburuk.” Tegas sang dokter.
“aku tak peduli. Lagi pula tak ada
gunanya aku bertahan jika memang inilah caraku untuk mati.” jawabnya dingin
membuat sang dokter tak bisa menahan kemauan Shin.
“baiklah jika itu keputusan anda.”
“oh, iya. Satu lagi! Jangan
ceritakan ini semua pada siapapun, terutama pada Cho Ui.”
***
Ui hanya bisa
menusuk-nusuk sepotong muffin buatannya yang seharusnya ia makan bersama
dengan Shin Young untuk perayaan kepulangannya dari Singapore sekaligus
perayaan ultah Cho Ui yang ke 23. Gadis berdarah
China ini mengambil ponselnya dan menekan nomor Shin. Sekian lama menunggu
membuatnya resah.
“Shin?” ucapnya
setelah tersambung dengan Shin. “Kenapa lama sekali? Apa kau tak jadi pulang?” Tanya
Ui dengan nada menyesal.
“Tidak. Aku pasti
pulang. Aku tak pernah ingkar janji kan?” Shin meyakinkan.
“Baiklah. Kau tau
kan, aku di sini kesepian. Hanya kau orang yang dekat denganku.” Rengek Ui tak
kuasa menahan kesendiriannya tanpa Shin.
“Ya. Aku tau. Aku
janji akan selalu menjagamu. Kau juga satu-satunya milikku, Aku janji takkan
membuatmu kesepian.” Shin tau itu adalah kebohongan. Tapi ia tak bisa membuat
Cho Ui menangis lagi. Hanya keberadaannya lah yang bisa membahagiakan gadis
itu.
Tak berapa lama,
akhirnya Shin datang. Meraka duduk dan memotong cake berlapis toping
strawberry di ruang makan yang kecil dan nyaman. Namun wajah Shin masih pucat bagai orang tak
bernyawa di sela kebahagian kecil itu.
“Shin? Apa kau
baik-baik saja? Kau terlalu menforsir dirimu. Kau jauh-jauh ke Singapore hanya
untuk menyelesaikan proyek yang tak jelas itu. Sebaiknya kau lupakan proyek itu
dan uruslah kesehatanmu.” Ucap Ui begitu cemas.
“Aku tak apa.
tenang saja.” Shin meyakinkan. Padahal ia sendir tau keadaannya sangat buruk.
Ia tak pernah membongkar tentang penyakitnya selama ini pada Ui. Ia pun juga
berbohong tentang proyek itu. Kenyataannya tak ada proyek. Ta ada pekerjaan.
Tak ada Singapore. Ia tak pernah kesana. Selama in Shin hanya menjalani
pengobatan dan berbagai terapi untuk penyembuhan tumornya di Seoul. Tapi semua
sia-sia. Ia hanya bisa terus berbohong dan berbohong demi melihat Ui tersenyum.
“kau bilang taka
pa? kau tau betapa cemasnya aku?” bentak Ui tak sabar. Perasaan ketakutannya
akan kehilangan Shin sangatlah dalam. Ui pun tak bisa membendung air matanya
lagi.
“tenanglah. Aku
berjanji takkan membuatmu kawatir lagi.” Shin memeluk Cho dan menyandarkan
kepala Ui ke dadanya. Mencoba menghapus air mata Ui.
“aku.. sayang
padamu. Jadi tetaplah disampingku.” Ui memohon dengan air mata yang mengalir
deras.
“Umm.. Ui?” mendadak
Shin dengan canggung bertanya di
sela-sela tangisan Ui yang mulai meredam.
“ya?”
“Aku ingin
mengatakan sesuatu” ucapnya tak tahan. Ia bingung bagaimana mengatakan
keadaannya yang sebenarnya. Bukan kematian yang ia takutkan melainkan keadaan
Ui yang akan hancur saat kehilangan dirinya. Shin hanya takut jika Ui tak bisa
melupakannya.
“ya? Apa?” Tanya
Ui sekali lagi.
“Aku ingin kau
melupakanku…”
***
Beberapa hari
setelah itu, Shin makin jarang di rumah. Ia lebih sering berdiam di
apartemennya sambil menunggu ajal. Komunikasi diantara merekapun semakin
canggung. Entah apa yang bisa dia lakukan lagi selain ini. Hanya ini
satu-satunya cara agar Ui bisa melupakannya. Meskipun itu dengan jalan yang
akan memperburuk perasaan Cho UI, membangun kebencian di hati Cho Ui terhadap
Shin. Kebencian yang akan membuat Shin menyesal selama sisa hidupnya. Namun apa
peduli Shin. Selama ia tak melihat air mata Ui jatuh lebih deras. Lagi pula tak
ada cukup waktu baginya untuk menyesali semua.
Malam hari tampak
begitu pekat. Jalanan Seoul Nampak sunyi di tengah gelapnya langit. Tak satupun
suara terdengar. Hanya hembusan angin musim dingin yang terasa menyeruak dan
suara decit tikus-tikus jalanan yang bernyanyi di tengah malam. Dan satu lagi
suara yang nampak dari kejauhan. Suara langkah kaki putus asa.
Ui menemukan
alamat apartemen yang ia cari. Apartemen Shin. Namun apa yang ia lihat tak
sebaik harapannya. Ia mendengar suara samar perempuan di dalam sana, dan suara
Shin.
“bagaimana dengan
Ui? Haruskah dengan begini caramu meninggalkannya?”
“aku tak tau lagi
bagaimana caranya. Aku ingin melupakan Ui. Ia tak seharusnya berada di hidupku
lagi. Aku sudah tak tahan melihatnya begitu. ”
Shin ternyata
membenciku? Dia tak ingin aku berada di sisinya. Pikir Cho Ui ragu.
Perasaannya mulai
buruk. Ui menitikkan air mata. Ia terisak dengan keadaan Shin yang berubah 180
derajat. Ui hanya bisa menyesal. Ia sadar ia harus melupakan Shin. Shin sudah
membencinya. Shin sudah tak tahan melihat dirinya yang manja. Ia sudah tak
mengharapkan Ui disisinya. Ia sudah tak seharusnya bergantung pada Shin.
***
Sudah
berminggu-minggu Ui tak mengunjungi Shin. Rasa sakit hatinya dan penyesalan
yang begitu dalam membuat kakinya terpaku. Ia rindu akan semuanya. Semua hal
bersama Shin. Tapi ia harus melupakan semua itu. Cho Ui ingin mebuang semua
kenangan tentang Shin. Semua hal yang akan membuatnya ingat tentang adanya
Shin.
“SHIN
JAHAAATT!!!” teriaknya melepas semua kemarahan. Ui langsung berlari menuju
kamar Shin. Kamar yang sudah lama tak berpenghuni. Cho melempar semua barang di
dalam kamar itu dengan penuh emosi. Meneriakkan segala hal buruk tentang Shin.
Kenapa kau
melakukan ini padaku?. Tanya Cho Ui dalam hatinya.
“KAU JAHAATTTT
SHIN!!!” teriaknya sekali lagi. Namun di tengah-tengah amarahnya, sepucuk surat
melayang lembut bersamaan dengan tumpukan buku yang ia lempar. Sejenak Ui
berpikir untu tidak menghiraukannya, tetapi tulisan kecil di secarik surat itu
menarik hati Ui untuk membacanya. Ui mulai meeredam amarahnya dan memungut
surat itu. Di depannya tertulis : ‘untuk
Cho Ui yang selalu menjadi penyangga hidupku’
Ui membaca surat
itu. Air matanyapun mulai menitik setelah ia membaca semuanya dan mengetahui
semuanya.
Dear Cho
Ui,
Hai gadis mungilku. Gadis manja yang selalu
membuatku merasa agar tetap memepertahankan hidup ini. Aku tahu kau takkan
pernah membaca surat ini. Mungkin aku juga sudah mati saat surat ini sampai di
tanganmu. Sengaja ku tulis surat ini agar kau tak salah sangka akan perubahan
sikapku. Sejujurnya, sudah lama aku menderita tumor. Itulah alasan mengapa aku
sering mengeluh pusing kepala J tapi
aku merahasiakan semua ini. Aku tak mau kau kecewa dan khawatir akan keadaanku.
Aku tak ingin kau menangis lagi. Sengaja aku melakukan semua ini. Aku tak ingin
kau merusak hidupmu hanya karena kehilanganku. Maaf jika membuatmu sakit hati.
Aku memang sengaja menjauhimu setalah dokter memfonisku bahwa hidupku tak lama
lagi. Satu-satunya tujuanku melakukan itu hanyalah agar kau melupakanku. Tapi
jika aku kembali membuatmu menangis karna itu, aku minta maaf. Aku hanya
berharap kau bisa melupakanku dan menjadi gadis yang lebih baik. Yang dikelilingi banyak orang yang menyayangimu.
Yang selalu tersenyum meskipun dihadang berbagai rintangan. Yang selalu kuat.yang
selalu menjadi gadis manisku J
Hiduplah
dengan bahagia. Lupakan aku. Buatlah hidup yang baru. Yang lebih bahagia dengan
banyak orang disekitarmu. Jangan merasa kesepian lagi. Karna aku takkan bisa
pergi dengan tenang jika kau sendiri akan menangis tanpaku. Aku tak bisa
menjagamu lagi. Kau harus menjadi mandiri. Sekali lagi, maaf karna tak bisa
bersamamu lebih lama lagi J
Saranghae..
Salam
sayang,
Shin
Young
Ui memeluk surat itu di dadanya. Air mata
mengalir deras di pipi Cho Ui. Sesak rasanya hati gadis itu. Namun, ia juga
bahagia. Semuanya telah terungkap. Meskipun ada penyesalan besar di hati Ui.
Tiba-tiba suara bel pintu mengejutkan Ui. Cho
Ui menghapus air matanya dan bergegas menuju pintu depan. Ia yakin itu Shin. Ui
yakin jika Shin salah. Shin masih hidup, dan Ui sudah membaca suratnya. Shin
takkan mati. Ui akan memperbaiki semua. Mengulang dari awal dan berusaha
mempertahankan nyawa Shin dengan segala cara.
“maaf, anda siapa?” tanya Ui bngung setelah
melihat orang di balik pintu bukanlah orang yang ia harapkan.
“perkenalkan. Aku Sohyun. Teman akrab Shin
Young. ” Gadis menjabat tangan Ui. “Shin Young sering menceritakanmu padaku.”
Jelasnya lagi.
“oh. Jadi kau yang di dalam apartemen Shin
Young waktu itu?” Cho Ui mengintrogasi.
“mungkin. Aku memang sering berkunjung ke
apartemennya untuk merawatnya.” Jawab Sohyun. “Oh. Maaf. Aku tak tau jika kau
belum tau akan keadaan Shin Young.” Lanjutnya merasa bersalah.
“tak apa. aku sudah tau semua itu.
Ngomong-ngomong, apa kau ingin mencari Shin Young? Tapi maaf, kau tau kan jika
Shin sudah lama tidak tinggal disini? Shin Young pasti cerita padamu.”
Sohyun terdiam.
Hening.
“bukan. Aku tidak ingin mencarinya. Aku
mencarimu.” Jelas Sohyun memecah keheningan.
“ada apa?” tanya Cho Ui penasaran.
“sebenarnya.. Shin Young..” Sohyun ragu-ragu
menelaskan semuanya. Ia takut perasaan Cho Ui akan tersakiti.
Cho Ui masih menunggu.
“sebenarnya Shin Young telah meninggal. Resiko
tumornya sudah tak dapat di cegah.” Jelasnya dengan tak tega.
“maksudmu.. ia me-meninggal?” Cho Ui tercekat.
Tak percaya dengan apa yang ia dengar. Sohyun hanya diam. “Shin Young…”
rintihnya. Cho Ui menggigit jarinya. Tubuhnya gemetar. Air mata kembali
mengalir deras. Ia bingung bagaimana cara untuk menerima kenyataan ini. Mungkinkah
ini mimpi? Bukan! Ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Kenyataan yang sangat pahit. Kenyataan
bahwa..
Shin Young telah tiada.
***
Cho Ui mulai menaburkan bunga di atas makam
Shin Young. Ini sudah keseratus hari kematinnya. Setitik air mata rindu menetes
di pipi Cho Ui.
“Cho Ui!!” seseorang datang sambil melambaikan
tangan kea rah Cho Ui.
“oh. Hi, Sohyun.” Cho Ui membalas sapaan gadis
itu.
“apa kau sudah selesai? Teman-teman sudah
menunggu kita.”
“Sebentar.” Cho Ui meletakkan menaburkan
kembali sisa bunganya dan meletakkan sekeranjang bunga mawar putih di samping
makam Shin Young. “baiklah! Aku selesai! Ayo!” Cho Ui menarik tangan Sohyun
meninggalkan pemakaman.
“Aku yakin Shin Young takkan melupakanmu di
sana.” Bisik Sohyun menghibur.
Cho Ui hanya tersenyum dan menoleh ke arah
makam Shin Young. hatinya kini mulai tenang. Ia sangat bersyukur pernah
memiliki Shin Young dalam hidupnya.
Kau tahu Shin Young? kini aku telah memiliki
banyak orang yang menyayangiku. Sesuai pesanmu. Namun, aku tetap tak bisa
melupakanmu, sebagai orang yang memberikan kebahagiaan dalam hidupku. Tenang
saja, aku takkan menangis lagi. Tapi jangan paksa aku untuk melupakanmu.
Terimakasih Shin Young…
Cho tersenyum bersama pikirannya. Ia bahagia.
Sungguh bahagia, meskipun Shin Young tak ada di sampingnya lagi.
***
0 komentar:
Posting Komentar