Rabu, 19 Desember 2012

Cerpen



Thank’s



“Maaf tuan. Tapi penyakit anda sudah memasuki stadium akhir, dan itu artinya…”
“Artinya aku tak bisa hidup lebih lama lagi?” sela Shin Young tak kuasa melihat keadaan dirinya saat ini.
“Ya. Anda betul. Hidup anda difonis tinggal 6 bulan lagi.” Jelas dokter itu dengan nada pasrah.
Shin Young tak bergeming. Suasanapun mulai hening. Ia hanya bisa duduk terpuruk di atas ranjang berbalut sprai putih itu, sambil merenungi keadaannya. wajahnya yang sepucat susu terlihat kosong. Dokter yang ada di hadapannya pun hanya bisa diam memahami perasaan Shin Young. ia tak bisa berbuat apa-apa selain menyampaikan kabar buruk ini.
“aku ingin pulang hari ini juga.” Ucap Shin memecah keheningan.
“apa maksudmu? Itu akan membuat semuanya makin memburuk.” Tegas sang dokter.
“aku tak peduli. Lagi pula tak ada gunanya aku bertahan jika memang inilah caraku untuk mati.” jawabnya dingin membuat sang dokter tak bisa menahan kemauan Shin.
“baiklah jika itu keputusan anda.”
“oh, iya. Satu lagi! Jangan ceritakan ini semua pada siapapun, terutama pada Cho Ui.”

                                                                           ***

Ui hanya bisa menusuk-nusuk sepotong muffin buatannya yang seharusnya ia makan bersama dengan Shin Young untuk perayaan kepulangannya dari Singapore sekaligus perayaan ultah Cho Ui yang ke 23.  Gadis berdarah China ini mengambil ponselnya dan menekan nomor Shin. Sekian lama menunggu membuatnya resah.
“Shin?” ucapnya setelah tersambung dengan Shin. “Kenapa lama sekali? Apa kau tak jadi pulang?” Tanya Ui dengan nada menyesal.
“Tidak. Aku pasti pulang. Aku tak pernah ingkar janji kan?” Shin meyakinkan.
“Baiklah. Kau tau kan, aku di sini kesepian. Hanya kau orang yang dekat denganku.” Rengek Ui tak kuasa menahan kesendiriannya tanpa Shin.
“Ya. Aku tau. Aku janji akan selalu menjagamu. Kau juga satu-satunya milikku, Aku janji takkan membuatmu kesepian.” Shin tau itu adalah kebohongan. Tapi ia tak bisa membuat Cho Ui menangis lagi. Hanya keberadaannya lah yang bisa membahagiakan gadis itu.

Tak berapa lama, akhirnya Shin datang. Meraka duduk dan memotong cake berlapis toping strawberry di ruang makan yang kecil dan nyaman.  Namun wajah Shin masih pucat bagai orang tak bernyawa di sela kebahagian kecil itu.
“Shin? Apa kau baik-baik saja? Kau terlalu menforsir dirimu. Kau jauh-jauh ke Singapore hanya untuk menyelesaikan proyek yang tak jelas itu. Sebaiknya kau lupakan proyek itu dan uruslah kesehatanmu.” Ucap Ui begitu cemas.
“Aku tak apa. tenang saja.” Shin meyakinkan. Padahal ia sendir tau keadaannya sangat buruk. Ia tak pernah membongkar tentang penyakitnya selama ini pada Ui. Ia pun juga berbohong tentang proyek itu. Kenyataannya tak ada proyek. Ta ada pekerjaan. Tak ada Singapore. Ia tak pernah kesana. Selama in Shin hanya menjalani pengobatan dan berbagai terapi untuk penyembuhan tumornya di Seoul. Tapi semua sia-sia. Ia hanya bisa terus berbohong dan berbohong demi melihat Ui tersenyum.
“kau bilang taka pa? kau tau betapa cemasnya aku?” bentak Ui tak sabar. Perasaan ketakutannya akan kehilangan Shin sangatlah dalam. Ui pun tak bisa membendung air matanya lagi.
“tenanglah. Aku berjanji takkan membuatmu kawatir lagi.” Shin memeluk Cho dan menyandarkan kepala Ui ke dadanya. Mencoba menghapus air mata Ui.
“aku.. sayang padamu. Jadi tetaplah disampingku.” Ui memohon dengan air mata yang mengalir deras.
“Umm.. Ui?” mendadak Shin  dengan canggung bertanya di sela-sela tangisan Ui yang mulai meredam.
“ya?”
“Aku ingin mengatakan sesuatu” ucapnya tak tahan. Ia bingung bagaimana mengatakan keadaannya yang sebenarnya. Bukan kematian yang ia takutkan melainkan keadaan Ui yang akan hancur saat kehilangan dirinya. Shin hanya takut jika Ui tak bisa melupakannya.
“ya? Apa?” Tanya Ui sekali lagi.
“Aku ingin kau melupakanku…”

                                                                          ***

Beberapa hari setelah itu, Shin makin jarang di rumah. Ia lebih sering berdiam di apartemennya sambil menunggu ajal. Komunikasi diantara merekapun semakin canggung. Entah apa yang bisa dia lakukan lagi selain ini. Hanya ini satu-satunya cara agar Ui bisa melupakannya. Meskipun itu dengan jalan yang akan memperburuk perasaan Cho UI, membangun kebencian di hati Cho Ui terhadap Shin. Kebencian yang akan membuat Shin menyesal selama sisa hidupnya. Namun apa peduli Shin. Selama ia tak melihat air mata Ui jatuh lebih deras. Lagi pula tak ada cukup waktu baginya untuk menyesali semua.
Malam hari tampak begitu pekat. Jalanan Seoul Nampak sunyi di tengah gelapnya langit. Tak satupun suara terdengar. Hanya hembusan angin musim dingin yang terasa menyeruak dan suara decit tikus-tikus jalanan yang bernyanyi di tengah malam. Dan satu lagi suara yang nampak dari kejauhan. Suara langkah kaki putus asa.
Ui menemukan alamat apartemen yang ia cari. Apartemen Shin. Namun apa yang ia lihat tak sebaik harapannya. Ia mendengar suara samar perempuan di dalam sana, dan suara Shin.
“bagaimana dengan Ui? Haruskah dengan begini caramu meninggalkannya?”
“aku tak tau lagi bagaimana caranya. Aku ingin melupakan Ui. Ia tak seharusnya berada di hidupku lagi. Aku sudah tak tahan melihatnya begitu. ”
Shin ternyata membenciku? Dia tak ingin aku berada di sisinya. Pikir Cho Ui ragu.
Perasaannya mulai buruk. Ui menitikkan air mata. Ia terisak dengan keadaan Shin yang berubah 180 derajat. Ui hanya bisa menyesal. Ia sadar ia harus melupakan Shin. Shin sudah membencinya. Shin sudah tak tahan melihat dirinya yang manja. Ia sudah tak mengharapkan Ui disisinya. Ia sudah tak seharusnya bergantung pada Shin.

                                                                           ***


Sudah berminggu-minggu Ui tak mengunjungi Shin. Rasa sakit hatinya dan penyesalan yang begitu dalam membuat kakinya terpaku. Ia rindu akan semuanya. Semua hal bersama Shin. Tapi ia harus melupakan semua itu. Cho Ui ingin mebuang semua kenangan tentang Shin. Semua hal yang akan membuatnya ingat tentang adanya Shin.
“SHIN JAHAAATT!!!” teriaknya melepas semua kemarahan. Ui langsung berlari menuju kamar Shin. Kamar yang sudah lama tak berpenghuni. Cho melempar semua barang di dalam kamar itu dengan penuh emosi. Meneriakkan segala hal buruk tentang Shin.
Kenapa kau melakukan ini padaku?. Tanya Cho Ui dalam hatinya.
“KAU JAHAATTTT SHIN!!!” teriaknya sekali lagi. Namun di tengah-tengah amarahnya, sepucuk surat melayang lembut bersamaan dengan tumpukan buku yang ia lempar. Sejenak Ui berpikir untu tidak menghiraukannya, tetapi tulisan kecil di secarik surat itu menarik hati Ui untuk membacanya. Ui mulai meeredam amarahnya dan memungut surat itu. Di depannya tertulis :  ‘untuk Cho Ui yang selalu menjadi penyangga hidupku’
Ui membaca surat itu. Air matanyapun mulai menitik setelah ia membaca semuanya dan mengetahui semuanya.

Dear Cho Ui,

Hai  gadis mungilku. Gadis manja yang selalu membuatku merasa agar tetap memepertahankan hidup ini. Aku tahu kau takkan pernah membaca surat ini. Mungkin aku juga sudah mati saat surat ini sampai di tanganmu. Sengaja ku tulis surat ini agar kau tak salah sangka akan perubahan sikapku. Sejujurnya, sudah lama aku menderita tumor. Itulah alasan mengapa aku sering mengeluh pusing kepala J tapi aku merahasiakan semua ini. Aku tak mau kau kecewa dan khawatir akan keadaanku. Aku tak ingin kau menangis lagi. Sengaja aku melakukan semua ini. Aku tak ingin kau merusak hidupmu hanya karena kehilanganku. Maaf jika membuatmu sakit hati. Aku memang sengaja menjauhimu setalah dokter memfonisku bahwa hidupku tak lama lagi. Satu-satunya tujuanku melakukan itu hanyalah agar kau melupakanku. Tapi jika aku kembali membuatmu menangis karna itu, aku minta maaf. Aku hanya berharap kau bisa melupakanku dan menjadi gadis yang lebih baik. Yang  dikelilingi banyak orang yang menyayangimu. Yang selalu tersenyum meskipun dihadang berbagai rintangan. Yang selalu kuat.yang selalu menjadi gadis manisku J
Hiduplah dengan bahagia. Lupakan aku. Buatlah hidup yang baru. Yang lebih bahagia dengan banyak orang disekitarmu. Jangan merasa kesepian lagi. Karna aku takkan bisa pergi dengan tenang jika kau sendiri akan menangis tanpaku. Aku tak bisa menjagamu lagi. Kau harus menjadi mandiri. Sekali lagi, maaf karna tak bisa bersamamu lebih lama lagi J Saranghae..
                                                                                                                
                                                                                                                 Salam sayang,
                                                                                                                 Shin Young

Ui memeluk surat itu di dadanya. Air mata mengalir deras di pipi Cho Ui. Sesak rasanya hati gadis itu. Namun, ia juga bahagia. Semuanya telah terungkap. Meskipun ada penyesalan besar di hati Ui.
Tiba-tiba suara bel pintu mengejutkan Ui. Cho Ui menghapus air matanya dan bergegas menuju pintu depan. Ia yakin itu Shin. Ui yakin jika Shin salah. Shin masih hidup, dan Ui sudah membaca suratnya. Shin takkan mati. Ui akan memperbaiki semua. Mengulang dari awal dan berusaha mempertahankan nyawa Shin dengan segala cara.
“maaf, anda siapa?” tanya Ui bngung setelah melihat orang di balik pintu bukanlah orang yang ia harapkan.
“perkenalkan. Aku Sohyun. Teman akrab Shin Young. ” Gadis menjabat tangan Ui. “Shin Young sering menceritakanmu padaku.” Jelasnya lagi.
“oh. Jadi kau yang di dalam apartemen Shin Young waktu itu?” Cho Ui mengintrogasi.
“mungkin. Aku memang sering berkunjung ke apartemennya untuk merawatnya.” Jawab Sohyun. “Oh. Maaf. Aku tak tau jika kau belum tau akan keadaan Shin Young.” Lanjutnya merasa bersalah.
“tak apa. aku sudah tau semua itu. Ngomong-ngomong, apa kau ingin mencari Shin Young? Tapi maaf, kau tau kan jika Shin sudah lama tidak tinggal disini? Shin Young pasti cerita padamu.”
Sohyun terdiam.
Hening.
“bukan. Aku tidak ingin mencarinya. Aku mencarimu.” Jelas Sohyun memecah keheningan.
“ada apa?” tanya Cho Ui penasaran.
“sebenarnya.. Shin Young..” Sohyun ragu-ragu menelaskan semuanya. Ia takut perasaan Cho Ui akan tersakiti.
Cho Ui masih menunggu.
“sebenarnya Shin Young telah meninggal. Resiko tumornya sudah tak dapat di cegah.” Jelasnya dengan tak tega.
“maksudmu.. ia me-meninggal?” Cho Ui tercekat. Tak percaya dengan apa yang ia dengar. Sohyun hanya diam. “Shin Young…” rintihnya. Cho Ui menggigit jarinya. Tubuhnya gemetar. Air mata kembali mengalir deras. Ia bingung bagaimana cara untuk menerima kenyataan ini. Mungkinkah ini mimpi? Bukan! Ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Kenyataan yang sangat pahit. Kenyataan bahwa..
Shin Young telah tiada.

                                                                           ***

Cho Ui mulai menaburkan bunga di atas makam Shin Young. Ini sudah keseratus hari kematinnya. Setitik air mata rindu menetes di pipi Cho Ui.
“Cho Ui!!” seseorang datang sambil melambaikan tangan kea rah Cho Ui.
“oh. Hi, Sohyun.” Cho Ui membalas sapaan gadis itu.
“apa kau sudah selesai? Teman-teman sudah menunggu kita.”
“Sebentar.” Cho Ui meletakkan menaburkan kembali sisa bunganya dan meletakkan sekeranjang bunga mawar putih di samping makam Shin Young. “baiklah! Aku selesai! Ayo!” Cho Ui menarik tangan Sohyun meninggalkan pemakaman.
“Aku yakin Shin Young takkan melupakanmu di sana.” Bisik Sohyun menghibur.
Cho Ui hanya tersenyum dan menoleh ke arah makam Shin Young. hatinya kini mulai tenang. Ia sangat bersyukur pernah memiliki Shin Young dalam hidupnya.
Kau tahu Shin Young? kini aku telah memiliki banyak orang yang menyayangiku. Sesuai pesanmu. Namun, aku tetap tak bisa melupakanmu, sebagai orang yang memberikan kebahagiaan dalam hidupku. Tenang saja, aku takkan menangis lagi. Tapi jangan paksa aku untuk melupakanmu.
Terimakasih Shin Young…
Cho tersenyum bersama pikirannya. Ia bahagia. Sungguh bahagia, meskipun Shin Young tak ada di sampingnya lagi.


                                                                           ***


0 komentar:

Posting Komentar