Pelarian
Berharga
Hidup memang tak adil. Terutama untuk gadis
malang yang harus hidup tanpa kasih sayang. Ia benci hidupnya. Benci takdirnya.
Dan segala hal yang membuatnya menanggung beban mengerikan ini. Lebih baik mati bukan, dari
pada harus menjalani hidup sekejam ini.
Andai aku
seperti mereka. Kenapa aku harus terlahir seperti ini? Dengan orang-orang yang
tak peduli akan kebahagiaanku. Aku iri dengan mereka. Sesal Niky dalam hatinya saat melihat dua anak
laki-laki sedang bercanda di tepi jalan kompleks. Ah! Semua penyesalan itu
hanya membuatnya makin rindu pada bundanya yang telah lama pergi. Niky menghela
nafas. Ia mulai melanjutkan langkahnya melewati jalanan setapak yang becek di guyur hujan tadi malam.
Niky segera menerobos masuk melewati
pintu gerbang rumahnya yang sedari tadi terbuka. Hari Senin yang melelahkan,
terutama untuk seorang siswa kebanggaan sekolah seperti Niky. Yah, Niky adalah
anak yang sangat cerdas. Apalagi ia juga juara Taekwondo tingkat nasional.
Namun semua itu tak berguna tanpa ada kasih sayang dan rasa bangga dari
ayahnya.
Niky menuntup gerbang dengan lesuh. Ia sempat bingung, jarang-jarang ayahnya
membiarkan pintu gerbang terbuka lebar. Namun, seorang wanita asing di depan
pintu rumahnya menjawab semua kebingungannya. Niky segera mendekati wanita itu.
Belum sempat ia menyapa, wanita itu sudah berbalik dan menyadari keberadaan Niky.
“oh! Niky ya?” Tanya wanita itu
mendadak. Seakan-akan telah lama mengenal profil gadis berkulit langsat ini.
“iya. ada perlu apa?” Tanya Niky sopan
sambil menatap curiga pada wanita di sebrangnya itu. Wanita itu menatap ke arah
Niky sinis yang sepertinya mengandung arti ‘jangan campuri urusanku!’ atau
‘cih! nggak penting menjawab
pertanyaan anak kecil sepertimu!’
Belum sempat wanita itu menjawab,
tiba-tiba terdengar suara engsel pintu yang ditarik.
“Niky! Kenapa kamu baru pulang?! Ayah kan
sudah bilang pulanglah tepat waktu! Kau harus belajar untuk mengatur waktu, kau
mengerti?. Sekarang kau tambah bandel ya!” sentak seorang laki-laki yang muncul
dari balik pintu. Laki-laki berambut cepak dan terlihat sudah berumur itu baru
menyadari ada wanita lain yang bersama Niky. Wajah garangnya tiba-tiba merapuh
memperlihatkan senyuman hangat pada wanita itu.
“Ratna! Akhirnya kamu datang juga.”
Sambut ayah Niky menyapa tamu yang terlihat familiar dengannya. Wanita itu
mendekat dan memeluk ayah Niky, mencium
pipi ayah Niky seakan mereka adalah seorang kekasih.
“hai sayang..” sahut wanita itu sambil
menggelayut manja di tangan ayah Niky. Niky Nampak sebal melihat wanita itu.
Memang tak seharusnya Niky marah, apalagi ia belum mengenal dekat wanita itu. Tapi sikap jalangnya pada ayahnya
sangat tidak sopan, terutama ibu Niky belum lama meninggal.
“Ayah, siapa wanita ini?” tanya Niky
kesal sekaligus penasaran melihat gadis berpenampilan jalang yang berdiri di
samping ayahnya.
“oh, ini calon mama baru kamu. Ratna.”
Ayah Niky menepuk punggung wanita bernama Ratna itu, mencoba memperkenalkannya
pada Niky.
“apa, yah? Ta..tapi, wanita ini tak
pantas menjadi ibuku yah! Aku tak mau!” bantah Niky. Wajahnya Nampak terkejut.
Ternyata apa yang menjadi pikiran terburuknya benar. “aku tak mau punya ibu
seperti dia!” lanjut Niky . Ingin sekali ucapan maki keluar dari mulut Niky
untuk wanita yang berani seenak mengambil posisi bundanya. Namun,plaakk! belum sempat ia memaki, tangan ayahnya sudah
terulur dan melayang di pipi kanan Niky. Sebuah tamparan membuat Niky makin
dendam dan benci pada dua orang di depannya.
“kau ini tidak sopan! Sama saja dengan
bundamu! “ bentak ayahnya dengan kemarahan yang meluap. “sudah! cepat sana
masuk! Jangan urusi urasan ayah!” lanjut ayahnya makin membuat Niky kesal. Niky masuk dengan menutup pintu sekeras
mungkin. Niky mengunci kamarnya. Ia menutupi wajahnya dengan bantal
kesayangannya. Dalam hati ia benar-benar terisak. Kenapa hidupnya makin
memburuk?
Bunda..
aku rindu bunda.. isaknya dengan air mata yang deras hingga
membasi sebagian bantalnya. Aku tak tahan bunda.. jemput aku bersamamu. Lanjutnya.
Kali ini ia mengusap air matanya dengan lengannya. Hanya itu harapan yang
diinginkan Niky. Harapan untuk mengakhiri dunianya. Memang harapan yang konyol,
tapi itu pantas.
***
Hari mulai gelap. Rumah terasa sepi.
Sunyi. Hanya nyanyian jangkir yang terdengar nyaring. Entah kemana ayah Niky
sekarang. Niky masih terpuruk di kamarnya. Ia masih belum berani keluar. Bukan
karena kesepian, sendirian di rumah bagaikan kegiatan rutin bagi Niky. Niky
hanya tak mau melihat untuk kesekian kalinya bahwa ayahnya tak peduli akan perasaannya.
Tiba-tiba, suara pintu depan yang di buka membuat semua kesunyian itu lenyap.
“Niky!! Kemana kau!” sebuah teriakan
yang ia kenal membuatnya terkesiap dan segera turun dari kamarnya di lantai
dua.
“kemana saja kau! Kenapa kau tidak
menyalakan lampu ruang tamu, hah?!” bentak ayahnya yang datang dengan
terhuyung-huyung.
“ayah! Ayah masih minum?” Tanya Niky
tak mempedulikan ocehan ayahnya. Tiba-tiba wanita yang tak asing di mata Niky,
datang dengan membawa kunci mobil ayahnya. “ kau apakan ayahku?” bentak Niky
kesal pada Ratna.
“jangan minum jika kau tak kuat.” Usul
Ratna pada ayah Niky tanpa menghiraukan pertanyaan Niky. Ratna membopong ayah Niky
menuju kamar.
“hai! Jangan masuk kamar ayahku
seenaknya! Bentak Niky mencoba mencegah langkah wanita itu yang selonongan.
“jangan dengarkan ocehan bocah tengil
itu, sayang.” Ucap ayahnya sambil menautkan lengannya di bahu Ratna. Ayah Niky
mendorong kasar Niky untuk menyingkir, mereka berdua dengan santainya melewati Niky
dan masuk ke dalam kamar.
“aku benci kalian!” Niky berlari
menuju kamarnya. Ia menutup pintu kamarnya dengan sangat keras. Segera ia
membuka lemari pakaiannya. Mencoba mencari ransel pikniknya. Niky memasukkan
segala sesuatu yang ia perlukan. Pakaian, sejumlah uang, dan beberapa benda
peninggalan almarhum bundanya. Maaf
bunda, aku tak bisa menjaga ayah. Aku sudah tak tahan bunda. Jika Tuhan tak
segera menjemputku untuk menyusul bunda, lebih baik aku pergi, mencoba mencari
hidup baru. Sebenarnya Niky menyesal dalam hatinya. Ia memeluk foto bundanya
erat. Setitik air mata mengalir di pipi Niky. Ia memasukkan foto bundanya ke
dalam ransel biru itu.
Niky mengenakan sepatu kats-nya.
Bergegas meninggalkan tempat yang bagaikan neraka itu. Pelariannya berjalan
lancar tanpa ayahnya tau. Namun ia mulai bingung, menyesal, sekaligus takut. Ia
takut jika keputusannya akan menghancurkan dirinya sendiri. Tapi, semua sudah
terlanjur. Niky melanjutkan langkahnya melewati jalanan Surabaya yang bising
akan suara manusia-manusia sibuk. Manusia yang tak bisa menikmati hidupnya.
Sedari tadi Niky hanya berjalan
lemah sambil tak tentu arah. Entah ke mana dia akan pergi. Mungkin mencari jati
diri, atau hanya menunggu waktunya untuk menyusul bundanya di surga. Yah,
memang itu tebakan yang gila, tapi untuk
anak seperti Niky yang kini sebatangkara dan tak punya tujuan hidup, bukanlah
kesalahan baginya untuk berharap ajal segera menjemputnya. Sebuah tubuh yang menabrak Niky membuatnya
terkesiap. Seorang gadis seumuran Niky - manis, cantik, dan terlalu indah untuk
seorang anak jalanan – terlihat terngah-engah. Nampaknya sesuatu sedang mengejarnya, tapi entah apa itu.
“maafkan aku, aku tidak melihatmu.”
Ucap Niky mencoba membantu gadis itu berdiri. Tapi gadis itu menolak bantuan
Niky, ia mencoba berdiri dengan nafas yang masih terengah-engah.
“bisakah kau membantuku?” Tanyanya
seketika. Membuat Niky bingung.
“membantu apa?” Niky mencoba
memperjelas.
“sembunyikan aku.” Gadis itu
menarik lengan Niky mendekat di sampingnya. Mencoba untuk bersikap santai.
Tiba-tiba, dari arah yang sama dari kedatangan gadis itu, beberapa polisi
terlihat celingukan. Sepertinya ada
razia. Pikir Niky dalam hati melihat keaadaan gadis yang Nampak panik.
Gadis itu menarik Niky ke sebuah gerobak bakso yang tak jauh dari situ.
Berbura-pura menjadi pelanggan.
“hai! Apa maksudmu?” Bisik Niky
mencoba memastikan. Tapi gadis itu tak menjawab.
Gadis itu mencoba mengecek “bagus,
mereka sudah pergi!” serunya girang.
“Hai! Ini bukan penyamaran yang
bagus! Kau berpura-pura menjadi pembeli? Kenapa harus mengajakku?” ujar Niky
menebak sikap licik gadis itu.
“bukan itu. Jika aku berjalan
bersamamu yang membawa ransel, mereka akan mengira kita anak biasa yang baru
pulang dari tempat les.” Jelas gadis itu membuat Niky terpojok. “baiklah, kau
boleh pergi!” usirnya tanpa rasa terimakasih.
“tapi aku tak tau harus pergi ke
mana” ujar Niky dengan wajah murung,
“jangan bilang kau lari dari rumah?
Ah, cerita lama.” Tebak gadis itu seakan sudah sering melihat tingkah konyol
Niky. “ kau mudah di tebak. Mana ada orang yang mau membawa ransel sebesar itu
di tempat umum seperti ini jika kau tidak kabur?” ujar gadis itu seakan membaca
pikiran Niky.
“kau mau ikut aku?” tawar gadis itu
pada Niky.
“kau yakin? Tentu aku mau!”
teriaknya girang. “ perkenalkan, Niky.” Niky mengulurkan tangannya.
“Terena.” Ucapnya pendek tanpa
membalas uluran tangan Niky.
***
Terena dan Niky sampai di sebuah
tempat yang kumuh. Niky hanya
terbengong heran. Gadis secantik ini
tinggal di tempat yang tak layak seperti
ini? Apa aku bermimpi? Tanya Niky dalam hati, tak percaya dengan apa yang
ia lihat.
“kau tinggal di sini?” Niky
memastikan.
“ya, memang kenapa? Pasti tak
sepadan untuk anak kota sepertimu? Kalau tak mau kau bisa tinggal di hotel atau
tempat lain yang mungkin kau anggap layak.” Ujarnya ketus, membuat Niky merasa telah
mengatakan hal yang salah.
“ku kira gadis secantik dirimu-“
“tinggal di rumah yang sebesar
istana? Begitu? Banyak orang yang berfikir sama sepertimu.” Sahut Terena
menyela perkataan Niky yang belum ia rampungkan. “memang ini bukan kebetulan,
tapi ada rahasia yang mungkin takkan ku sampaikan padamu.” Jelasnya lagi. “
baiklah, mau ikut atau tidak?” tawarnya untuk terakhir kali.
“tentu. Terimakasih atas
bantuannya.”
Sepanjang jalan menuju rumah
Terena, Niky hanya melihat orang-orang berbaju kumuh yang sedang menata sampah
pungutannya, serta anak-anak kecil yang sedang berlarian dan bermain di antara
tanah dan sampah. Semengnaskan ini ya?
Tapi ini tidak lebih mengenaskan dari hidupku. Niky hanya mampu menarik
nafas lega bisa memiliki tempat tinggal sementara, meskipun itu sama sekali tak
layak.
“baiklah, ini rumahku.” Kata Terena setelah sampai di sebuah gubuk
yang Nampak tua dan reot. “bagaimana? Terlalu buruk untukmu?” Tanya Terena
menyindir.
“tidak. Ini lebih baik dari pada
tinggal di rumah besar yang tak berpenghuni.” Ucap Niky sambil tertawa. Terena
pun ikut terbahak. Entah apa yang lucu, tapi sepertinya Niky terlihat lebih
nyaman di tempat ini. “ngomong-ngomong di mana orang tuamu? “ pertanyaan Niky
memecah tawa. Mendadak Terena terdiam, mukanya telihat murung. “oh, maaf, ku
rasa tak seharusnya aku bertanya” ujar Niky menyesal. Namun tiba-tiba Terena
tersenyum pasrah.
“tak apa. Sebenarnya aku juga kabur
sepertimu. Aku dulu memang anak kota. Tapi orang tuaku sangat bersikap keras
padaku, mereka bersikap tak seperti orang tua yang seharusnya.” Jelas Terena. “ah!
Tak seharusnya ku ceritakan hal ini padamu.” Sesal Terena.
“itu wajar jika orang tua bersikap
keras.”
“ini bukan seperti yang kau
pikirkan!” bantah Terena membuat Niky terkejut. “maaf. Aku tak bisa menjaga
emosiku. Kau tak tau bagaimana orang tuaku. Mereka hanya bekerja dn
berfoya-foya. Pekerjaan merekapun bukanlah pekerjaan yang waras. Mereka menjual
ganja!” jelasnya tanpa pikir panjang. “ku rasa aku terpaksa menceritakannya
padamu.” Terena menghela nafas dan melanjutkan ceritanya. “hari itu, saat hujan
mulai mengguyur Surabaya, orang tuaku pulang dengan wajah ketakutan. Mereka bertengkar
heboh. Aku yang mendengar, hanya mampu meringkuk di kamar bagai anak yang
licik. Aku sadar aku tak berguna, tapi aku tak bisa melerai mereka yang bahkan
tak pernah mendengarkanku.”
***
7
bulan yang lalu…
“kenapa
kau bodoh! Kita bisa rugi besar! Bagaimana mereka bisa menipu kita?!” bentak
Teguh pada Jenet dengan berjalan bolak balik kebingungan.
“aku
tak tau! a..aku.. aku benar-benar tak tau! “ rintih Jenet kebingungan, air mata
mengalir deras bersama air hujan yang masih membasahi tubuhnya.
“kau
ini bodoh! Kau kan tau dia pernah menipu kita sebelumnya!”
“tapi
kau yang bilang untuk menerima tawaran mereka.Itu tawaran yang besar! Siapa
yang bisa meno-“
“kau
ini bodoh! Bukan berarti kita membiarkan mereka tetap memegang kendali!” sela
Teguh dengan nada lebih tinggi.
“lalu
kita harus bagaimana? Haruskah kita menjadikan Terena sebagai ganti rugi semua kekacauan ini?” Tanya Jenet kebingungan.
“apa
kau gila! Dia anak kita!” cegah Teguh terkejut dengan pernyataan Jenet yang
nekat.
“aku bisa memberimu anak yang lain, yang
lebih baik dari dia. Yang tak berandal!”
***
“aku tak tau kenapa ayahku membiarkan ibu tiri ku melakukan hal sekejam
itu. Malam itu akupun langsung pergi dari rumah. Tak ada lagi alasan aku
bertahan di dalam rumah itu.” Jelas Terena. Terlihat air mata menggenang di
kelopak matanya.
Niky hanya bisa diam. Ia tak menyangka banwa hidup Terena lebih
mengerikan.
“ayolah.. tak apa. Setelah pelarian itu, aku menemuka tempat ini, mereka
menerimaku begitu saja, aku tak perlu bayar uang kos di sini.” Terena tertawa,
mencoba menghibur diri.
“kau rugi jika membayar untuk tempat tinggal seperti ini.” Niky ikut
terawa. Ia baru sadar, banyak orang yang memiliki kehidupan tak adil
sepertinya. Dia bukanlah satu-satunya spesies terakhir di dunia.
Kami masuk ke dalam gubuk itu. Niky meletakkan ranselnya di atas karpet
lusuh yang di gelar di ruang tengah. Lalu seorang laki-laki bertubuh kekar
dengan wajah yang garang keluar dari
salah satu kamar yang hanya berpintu gorden.
“Rena, siapa ini? Anak kota?” tanya laki-laki kekar itu pada Terena.
“iya, biasa bang. Dia boleh kerja di sini kan?” Terena memohon. “ya, ya..!”
“Terserah kamu. asal gak ngeropotin.”
Jawab abang itu dengan muka iba.
“makasih bang.” ucap Niky pendek dengan seringai senyum bahagia.
“sama-sama. Panggil aja bang Ali.” Ujar bang Ali sambil lalu. Ternyata
orang berwajah garang ini memiliki hati yang baik. Dia mau menampung Niky, juga
Terena yang sebelumnya tidak ia kenal.
“Eh, ngomong-ngomong, caramu cari makan gimana? Jangan bilang kamu ngamen.” Niky mengintrogasi.
“jangan ngawur. Nggak cukup uang ngamen buat tinggal di rumah ini, di
tambah biaya makan. Bisa-bisa kita Cuma tinggal di rumah kardus yang ancur
begitu kena hujan.” Guraunya.
Terus, kamu cari makan pake uang apa? Halal kan? Percuma kamu kabur kalau
akhir-akhirnya juga hidup pake uang haram.” Niky baru sadar dengan omongannya
yang menyinggung Terena. “eh, sorry! Aku nggak maksud..” Niky bingung ingin
bilang apa. Ia tak pernah bisa menjaga mulutnya yang terlalu ingin tau.
“Nggak apa. Aku tau maksudmu. Aku juga nggak akan ngasih kamu makan pake
uang haram kok.” Jelas Terena.
“makasih ya.” Ucap Niky dengan senyuman lega.
***
Haripun
mulai berganti minggu, minggu berganti bulan. Sudah hampir 2 bulan Niky hidup
dengan Terena di rumah reot ini. Tentu Niky sudah terbiasa. Niky mulai membopong
tasnya menuju sebuah pasar. Kini ia bekerja di sana. Mengangkat barang-barang
dagangan. Yah, hitung hitung membantu Terena. Memang uang yang ia hasilkan tak
begitu banyak. Tapi Niky tak pernah lalai untuk mengisi tabungannya. Ia ingin
memperbaiki rumah ini, ia ingin hidup lebih layak dengan Terena dan bang Ali.
Namun hari demi hari membuat Terena rindu pada ayahnya. Pada kehidupan lamanya.
“Ren, ayo!
Bos marah lagi nanti!” Niky menarik tangan Terena, mereka makin dekat sebagai
orang senasib. Terena sangat sayang pada Niky, bagai adiknya sendiri.
Di pasar,
Niky tampak murung, tak sesemangat sebelumnya. Terena mendekati Niky, berharap
ia bisa menghibur.
“Nik, kenapa?
Dari tadi mukamu kusut kayak baju cucian yang belom di setrika.” Goda Terena
sambil cengengesan.
“ Apa aku
salah dengan keputusanku. Aku rindu ayah.” Desah Niky dengan senyuman getir dan
tatapan menyesal.
“kamu
kangen? Aku tau masalahmu, tapi sebaiknya kamu coba buat balik pulang ke ayahmu.
Tak ada resiko bagimu untuk pulang kan? Berbeda denganku.” Tegur Terena. Ia tau
Niky bisa memperbaiki masalahnya. Terena yakin Niky lebih kuat dibandingkan
Terena.
“baiklah.
Aku akan menjenguk ayahku pulang nanti.”
“gitu
dong.” Seru Terena bangga sambil memukul punggung Niky pelan.
Sepulang
dari bekerja, Niky dan Terena berangkat ke rumah ayah Niky. Terena hanya
melihat dari luar, rumah yang sama besar dengan rumahnya dulu. Niky
mengendap-endap masuk melewati pagar rumahnya, namun ia tak melihat siapun di
sana. Tiba-tiba ayah Niky keluar dengan Ratna yang terlihat menggendong bayi di
tangannya. Mereka sudah berkeluarga?secepat
itu? Belum lama aku pergi. Jangan-jangan Ratna sudah berbadan dua dari awalnya.
Bahkan mereka sudah tak menganggap keberadaanku lagi. Sesal Niky dalam
hati. Niky mencoba mendekati Ayahnya.
“hi,
ayah.” Sapanya dari kejauhan dengan wajah rindu. Namun apa yang ia harapkan tak
sebaik kenyataannya. Ayahnya tetap berlalu meskipun sempat menyadari keberadaan
Niky, namun Ratna mendatangi Niky dengan mata mengancam.
“kenapa
kau kesini?! jangan ganggu kami lagi ya anak pungut!” bentak Ratna dengan menodongkan telunjuknya
ke arah Niky. Anak pungut? Apa yang ia
maksud? Pikirnya bingung dengan perkataan Ratna.
“apa yang
kau katakan?” tanyanya memastikan.
“kau tak
tau ya? Kasihan sekali. Kau itu hanya anak angkat ayahmu. Ayahmu membencimu sejak ibumu
membawamu kemari sewaktu kau masih bayi.” Jelas Ratna dengan ketus. Pernyataan
itu membuat Niky benar-benar drop. “ sekarang pergilah!” Usir Ratna. tanpa
menunggu perintah untuk kedua kalinya Niky melangkahkan kaki meninggalkan rumah
itu. Niky tak bisa membendung air matanya. Kenapa ia tak tahu dari awal? Ini
tak adil! Hidupnya benar-benar tak adil!
Terena
hanya bisa mencoba menenangkan Niky. Ia
tau harus berbuat apa. Ia juga tak tau jika semua akan berakhir seironis ini.
“aku tak
menyangka semua ini! Kenapa mereka tak bilang dari awal? Kenapa mereka
membiaarkanku ada jika aku tak diinginkan?”
Niky benar-benar terisak. Kepalanya terasa berputar dengan semua mimpi
buruk ini. Bukan, ini bukan mimpi buruk. Ini nyata, dan ia harus menerima
kenyataan ini.
“sabarlah.
Mungkin disini memang bukan jalanmu. Jangan menghancurkan dirimu karena
kenyataan ini. Bundamu tak ingin kau hancur seperti ini kan?” ujar Terena menenangkan. “ kau masih punya
aku. Aku akan menjagamu, tenang saja.” Terena memeluk Niky lembut dengan
seluruh kasih yang ia punya. Ia tau ini berat bagi Niky. Ia akan berjuang agar
Niky tak menangis lagi.
“aku ingin
bunda!” teriak Niky bagai seorang balita. Itu wajar untuknya. Hanya bundanyalah
yang mengharapkannya.
“Tenanglah,
bagaimana jika aku menjadi bundamu?” hibur Terena.
Niky
menatap Terena bingung. Kini ia mulai mengusap air matanya. “ apa yang kau
katakana?”
“aku akan
menjadi bundamu, yah memang umur yang samasekali
tak tepat untuk menjadi bunda. Tapi apa salahnya?”
“jika kau
bundanya, lalu siapa ayahnya? Jangan bilang bang Ali?aku tak mau.” rengeknya
sebal.
“kalau
begitu aku akan menjadi bunda sekaligus ayah bagimu.” Ujar Terena. Memang
perkataan yang asal. Tapi hal itu membuat secarik senyum tersungging di bibir
Niky.
“dasar kau
ini!” ledek Niky menertawakan Terena. Tanpa disadari mereka dapat tertawa bersama.
Meskipun sebuah ironi baru saja terjdi.
***
4 tahun
kemudian..
“Akhirnya
kita bisa pindah rumah. Lega deh! Gak ada yang namanya bocor lagi.”
“Yah! Kita
akan mengubah hidup kita disini! Ya kan bang?” Terena menyikut lengan bang Ali
bangga.
“Niky! Ayo
masuk! “ teriak Terena memanggil Niky yang masih berdiri di luar teras.
“ok, Ren!”
ucap Niky membalas perintah Terena dan bergegas berlari memasuki rumah baru
itu.
Yah, inilah hidup. Kadang memang terlihat
konyol. Bahkan untuk hal yang tak terpikirkan sebelumnya, hal yang menurutmu
tak mungkin terjadi. Namun inilah hidup. Penuh rintangan, sandiwara, dan..
kekonyolan. Selama kau masih bisa meraih yang lebih baik, raihlah sebelum
terlambat. Tutup jurnal lama, dan buka lembar baru. Tak ada kata mustahil untuk
memperbaiki hidup ini, meskipun itu dengan cara yang mustahil menurutmu.
***
End..
Makasih
buat pembaca halaman ini. Memang cerpen yang aneh dan GJ alias gak jelas. Terutama
aku baru belajar, alias amatiran. Tapi sekali lagi terimakasih karena telah
menghargai tulisanku. Jangan bosan-bosan mampir ke blog ini ya.. :) . Jangan lupa commend-nya ..