Rss

Kamis, 20 Desember 2012

Cerpen



Pelarian Berharga

Hidup memang tak adil. Terutama untuk gadis malang yang harus hidup tanpa kasih sayang. Ia benci hidupnya. Benci takdirnya. Dan segala hal yang membuatnya menanggung beban  mengerikan ini. Lebih baik mati bukan, dari pada harus menjalani hidup sekejam ini.
Andai aku seperti mereka. Kenapa aku harus terlahir seperti ini? Dengan orang-orang yang tak peduli akan kebahagiaanku. Aku iri dengan mereka.  Sesal Niky dalam hatinya saat melihat dua anak laki-laki sedang bercanda di tepi jalan kompleks. Ah! Semua penyesalan itu hanya membuatnya makin rindu pada bundanya yang telah lama pergi. Niky menghela nafas. Ia mulai melanjutkan langkahnya melewati jalanan setapak  yang becek di guyur hujan tadi malam.
Niky segera menerobos masuk melewati pintu gerbang rumahnya yang sedari tadi terbuka. Hari Senin yang melelahkan, terutama untuk seorang siswa kebanggaan sekolah seperti Niky. Yah, Niky adalah anak yang sangat cerdas. Apalagi ia juga juara Taekwondo tingkat nasional. Namun semua itu tak berguna tanpa ada kasih sayang dan rasa bangga dari ayahnya.
Niky menuntup gerbang dengan lesuh.  Ia sempat bingung, jarang-jarang ayahnya membiarkan pintu gerbang terbuka lebar. Namun, seorang wanita asing di depan pintu rumahnya menjawab semua kebingungannya. Niky segera mendekati wanita itu. Belum sempat ia menyapa, wanita itu sudah berbalik dan menyadari keberadaan Niky.
“oh! Niky ya?” Tanya wanita itu mendadak. Seakan-akan telah lama mengenal profil gadis berkulit langsat ini.
“iya. ada perlu apa?” Tanya Niky sopan sambil menatap curiga pada wanita di sebrangnya itu. Wanita itu menatap ke arah Niky sinis yang sepertinya mengandung arti ‘jangan campuri urusanku!’ atau ‘cih! nggak penting menjawab pertanyaan anak kecil sepertimu!’
Belum sempat wanita itu menjawab, tiba-tiba terdengar suara engsel pintu yang ditarik.
“Niky! Kenapa kamu baru pulang?! Ayah kan sudah bilang pulanglah tepat waktu! Kau harus belajar untuk mengatur waktu, kau mengerti?. Sekarang kau tambah bandel ya!” sentak seorang laki-laki yang muncul dari balik pintu. Laki-laki berambut cepak dan terlihat sudah berumur itu baru menyadari ada wanita lain yang bersama Niky. Wajah garangnya tiba-tiba merapuh memperlihatkan senyuman hangat pada wanita itu.
“Ratna! Akhirnya kamu datang juga.” Sambut ayah Niky menyapa tamu yang terlihat familiar dengannya. Wanita itu mendekat dan memeluk ayah Niky,  mencium pipi ayah Niky seakan mereka adalah seorang kekasih.
“hai sayang..” sahut wanita itu sambil menggelayut manja di tangan ayah Niky. Niky Nampak sebal melihat wanita itu. Memang tak seharusnya Niky marah, apalagi ia belum mengenal dekat  wanita itu. Tapi sikap jalangnya pada ayahnya sangat tidak sopan, terutama ibu Niky belum lama meninggal.
“Ayah, siapa wanita ini?” tanya Niky kesal sekaligus penasaran melihat gadis berpenampilan jalang yang berdiri di samping ayahnya.
“oh, ini calon mama baru kamu. Ratna.” Ayah Niky menepuk punggung wanita bernama Ratna itu, mencoba memperkenalkannya pada Niky.
“apa, yah? Ta..tapi, wanita ini tak pantas menjadi ibuku yah! Aku tak mau!” bantah Niky. Wajahnya Nampak terkejut. Ternyata apa yang menjadi pikiran terburuknya benar. “aku tak mau punya ibu seperti dia!” lanjut Niky . Ingin sekali ucapan maki keluar dari mulut Niky untuk wanita yang berani seenak mengambil posisi bundanya. Namun,plaakk!  belum sempat ia memaki, tangan ayahnya sudah terulur dan melayang di pipi kanan Niky. Sebuah tamparan membuat Niky makin dendam dan benci pada dua orang di depannya.
“kau ini tidak sopan! Sama saja dengan bundamu! “ bentak ayahnya dengan kemarahan yang meluap. “sudah! cepat sana masuk! Jangan urusi urasan ayah!” lanjut ayahnya makin membuat Niky kesal.  Niky masuk dengan menutup pintu sekeras mungkin. Niky mengunci kamarnya. Ia menutupi wajahnya dengan bantal kesayangannya. Dalam hati ia benar-benar terisak. Kenapa hidupnya makin memburuk?
Bunda.. aku rindu bunda.. isaknya dengan air mata yang deras hingga membasi sebagian bantalnya. Aku  tak tahan bunda.. jemput aku bersamamu. Lanjutnya. Kali ini ia mengusap air matanya dengan lengannya. Hanya itu harapan yang diinginkan Niky. Harapan untuk mengakhiri dunianya. Memang harapan yang konyol, tapi itu pantas.
                                                                          ***

Hari mulai gelap. Rumah terasa sepi. Sunyi. Hanya nyanyian jangkir yang terdengar nyaring. Entah kemana ayah Niky sekarang. Niky masih terpuruk di kamarnya. Ia masih belum berani keluar. Bukan karena kesepian, sendirian di rumah bagaikan kegiatan rutin bagi Niky. Niky hanya tak mau melihat untuk kesekian kalinya bahwa ayahnya tak peduli akan perasaannya. Tiba-tiba, suara pintu depan yang di buka membuat semua kesunyian itu lenyap.
“Niky!! Kemana kau!” sebuah teriakan yang ia kenal membuatnya terkesiap dan segera turun dari kamarnya di lantai dua.
“kemana saja kau! Kenapa kau tidak menyalakan lampu ruang tamu, hah?!” bentak ayahnya yang datang dengan terhuyung-huyung.
“ayah! Ayah masih minum?” Tanya Niky tak mempedulikan ocehan ayahnya. Tiba-tiba wanita yang tak asing di mata Niky, datang dengan membawa kunci mobil ayahnya. “ kau apakan ayahku?” bentak Niky kesal pada Ratna.
“jangan minum jika kau tak kuat.” Usul Ratna pada ayah Niky tanpa menghiraukan pertanyaan Niky. Ratna membopong ayah Niky menuju kamar.
“hai! Jangan masuk kamar ayahku seenaknya! Bentak Niky mencoba mencegah langkah wanita itu yang selonongan.
“jangan dengarkan ocehan bocah tengil itu, sayang.” Ucap ayahnya sambil menautkan lengannya di bahu Ratna. Ayah Niky mendorong kasar Niky untuk menyingkir, mereka berdua dengan santainya melewati Niky dan masuk ke dalam kamar.
“aku benci kalian!” Niky berlari menuju kamarnya. Ia menutup pintu kamarnya dengan sangat keras. Segera ia membuka lemari pakaiannya. Mencoba mencari ransel pikniknya. Niky memasukkan segala sesuatu yang ia perlukan. Pakaian, sejumlah uang, dan beberapa benda peninggalan almarhum bundanya. Maaf bunda, aku tak bisa menjaga ayah. Aku sudah tak tahan bunda. Jika Tuhan tak segera menjemputku untuk menyusul bunda, lebih baik aku pergi, mencoba mencari hidup baru. Sebenarnya Niky menyesal dalam hatinya. Ia memeluk foto bundanya erat. Setitik air mata mengalir di pipi Niky. Ia memasukkan foto bundanya ke dalam ransel biru itu.
Niky mengenakan sepatu kats-nya. Bergegas meninggalkan tempat yang bagaikan neraka itu. Pelariannya berjalan lancar tanpa ayahnya tau. Namun ia mulai bingung, menyesal, sekaligus takut. Ia takut jika keputusannya akan menghancurkan dirinya sendiri. Tapi, semua sudah terlanjur. Niky melanjutkan langkahnya melewati jalanan Surabaya yang bising akan suara manusia-manusia sibuk. Manusia yang tak bisa menikmati hidupnya.
Sedari tadi Niky hanya berjalan lemah sambil tak tentu arah. Entah ke mana dia akan pergi. Mungkin mencari jati diri, atau hanya menunggu waktunya untuk menyusul bundanya di surga. Yah, memang itu tebakan yang  gila, tapi untuk anak seperti Niky yang kini sebatangkara dan tak punya tujuan hidup, bukanlah kesalahan baginya untuk berharap ajal segera menjemputnya.  Sebuah tubuh yang menabrak Niky membuatnya terkesiap. Seorang gadis seumuran Niky - manis, cantik, dan terlalu indah untuk seorang anak jalanan – terlihat terngah-engah. Nampaknya sesuatu  sedang mengejarnya, tapi entah apa itu.
“maafkan aku, aku tidak melihatmu.” Ucap Niky mencoba membantu gadis itu berdiri. Tapi gadis itu menolak bantuan Niky, ia mencoba berdiri dengan nafas yang masih terengah-engah.
“bisakah kau membantuku?” Tanyanya seketika. Membuat Niky bingung.
“membantu apa?” Niky mencoba memperjelas.
“sembunyikan aku.” Gadis itu menarik lengan Niky mendekat di sampingnya. Mencoba untuk bersikap santai. Tiba-tiba, dari arah yang sama dari kedatangan gadis itu, beberapa polisi terlihat celingukan. Sepertinya ada razia. Pikir Niky dalam hati melihat keaadaan gadis yang Nampak panik. Gadis itu menarik Niky ke sebuah gerobak bakso yang tak jauh dari situ. Berbura-pura menjadi pelanggan.
“hai! Apa maksudmu?” Bisik Niky mencoba memastikan. Tapi gadis itu tak menjawab.
Gadis itu mencoba mengecek “bagus, mereka sudah pergi!” serunya girang.
“Hai! Ini bukan penyamaran yang bagus! Kau berpura-pura menjadi pembeli? Kenapa harus mengajakku?” ujar Niky menebak sikap licik gadis itu.
“bukan itu. Jika aku berjalan bersamamu yang membawa ransel, mereka akan mengira kita anak biasa yang baru pulang dari tempat les.” Jelas gadis itu membuat Niky terpojok. “baiklah, kau boleh pergi!” usirnya tanpa rasa terimakasih.
“tapi aku tak tau harus pergi ke mana” ujar  Niky dengan wajah murung,
“jangan bilang kau lari dari rumah? Ah, cerita lama.” Tebak gadis itu seakan sudah sering melihat tingkah konyol Niky. “ kau mudah di tebak. Mana ada orang yang mau membawa ransel sebesar itu di tempat umum seperti ini jika kau tidak kabur?” ujar gadis itu seakan membaca pikiran Niky.
“kau mau ikut aku?” tawar gadis itu pada Niky.
“kau yakin? Tentu aku mau!” teriaknya girang. “ perkenalkan, Niky.” Niky mengulurkan tangannya.
“Terena.” Ucapnya pendek tanpa membalas uluran tangan Niky.
                                                                          ***

Terena dan Niky sampai di sebuah tempat yang kumuh. Niky hanya terbengong heran. Gadis secantik ini tinggal di tempat yang  tak layak seperti ini? Apa aku bermimpi? Tanya Niky dalam hati, tak percaya dengan apa yang ia lihat.
“kau tinggal di sini?” Niky memastikan.
“ya, memang kenapa? Pasti tak sepadan untuk anak kota sepertimu? Kalau tak mau kau bisa tinggal di hotel atau tempat lain yang mungkin kau anggap layak.” Ujarnya ketus, membuat Niky merasa telah mengatakan hal yang salah.
“ku kira gadis secantik dirimu-“
“tinggal di rumah yang sebesar istana? Begitu? Banyak orang yang berfikir sama sepertimu.” Sahut Terena menyela perkataan Niky yang belum ia rampungkan. “memang ini bukan kebetulan, tapi ada rahasia yang mungkin takkan ku sampaikan padamu.” Jelasnya lagi. “ baiklah, mau ikut atau tidak?” tawarnya untuk terakhir kali.
“tentu. Terimakasih atas bantuannya.”

Sepanjang jalan menuju rumah Terena, Niky hanya melihat orang-orang berbaju kumuh yang sedang menata sampah pungutannya, serta anak-anak kecil yang sedang berlarian dan bermain di antara tanah dan sampah. Semengnaskan ini ya? Tapi ini tidak lebih mengenaskan dari hidupku. Niky hanya mampu menarik nafas lega bisa memiliki tempat tinggal sementara, meskipun itu sama sekali tak layak.
“baiklah, ini rumahku.”  Kata Terena setelah sampai di sebuah gubuk yang Nampak tua dan reot. “bagaimana? Terlalu buruk untukmu?” Tanya Terena menyindir.
“tidak. Ini lebih baik dari pada tinggal di rumah besar yang tak berpenghuni.” Ucap Niky sambil tertawa. Terena pun ikut terbahak. Entah apa yang lucu, tapi sepertinya Niky terlihat lebih nyaman di tempat ini. “ngomong-ngomong di mana orang tuamu? “ pertanyaan Niky memecah tawa. Mendadak Terena terdiam, mukanya telihat murung. “oh, maaf, ku rasa tak seharusnya aku bertanya” ujar Niky menyesal. Namun tiba-tiba Terena tersenyum pasrah.
“tak apa. Sebenarnya aku juga kabur sepertimu. Aku dulu memang anak kota. Tapi orang tuaku sangat bersikap keras padaku, mereka bersikap tak seperti orang tua yang seharusnya.” Jelas Terena. “ah! Tak seharusnya ku ceritakan hal ini padamu.” Sesal Terena.
“itu wajar jika orang tua bersikap keras.”
“ini bukan seperti yang kau pikirkan!” bantah Terena membuat Niky terkejut. “maaf. Aku tak bisa menjaga emosiku. Kau tak tau bagaimana orang tuaku. Mereka hanya bekerja dn berfoya-foya. Pekerjaan merekapun bukanlah pekerjaan yang waras. Mereka menjual ganja!” jelasnya tanpa pikir panjang. “ku rasa aku terpaksa menceritakannya padamu.” Terena menghela nafas dan melanjutkan ceritanya. “hari itu, saat hujan mulai mengguyur Surabaya, orang tuaku pulang dengan wajah ketakutan. Mereka bertengkar heboh. Aku yang mendengar, hanya mampu meringkuk di kamar bagai anak yang licik. Aku sadar aku tak berguna, tapi aku tak bisa melerai mereka yang bahkan tak pernah mendengarkanku.”
                                                                          ***

7 bulan yang lalu…
“kenapa kau bodoh! Kita bisa rugi besar! Bagaimana mereka bisa menipu kita?!” bentak Teguh pada Jenet dengan berjalan bolak balik kebingungan.
“aku tak tau! a..aku.. aku benar-benar tak tau! “ rintih Jenet kebingungan, air mata mengalir deras bersama air hujan yang masih membasahi tubuhnya.
“kau ini bodoh! Kau kan tau dia pernah menipu kita sebelumnya!”
“tapi kau yang bilang untuk menerima tawaran mereka.Itu tawaran yang besar! Siapa yang bisa meno-“
“kau ini bodoh! Bukan berarti kita membiarkan mereka tetap memegang kendali!” sela Teguh dengan nada lebih tinggi.
“lalu kita harus bagaimana? Haruskah kita menjadikan Terena sebagai ganti rugi  semua kekacauan ini?” Tanya Jenet kebingungan.
“apa kau gila! Dia anak kita!” cegah Teguh terkejut dengan pernyataan Jenet yang nekat.
“aku bisa memberimu anak yang lain, yang lebih baik dari dia. Yang tak berandal!”                
                                                                          ***

“aku tak tau kenapa ayahku membiarkan ibu tiri ku melakukan hal sekejam itu. Malam itu akupun langsung pergi dari rumah. Tak ada lagi alasan aku bertahan di dalam rumah itu.” Jelas Terena. Terlihat air mata menggenang di kelopak matanya.
Niky hanya bisa diam. Ia tak menyangka banwa hidup Terena lebih mengerikan.
“ayolah.. tak apa. Setelah pelarian itu, aku menemuka tempat ini, mereka menerimaku begitu saja, aku tak perlu bayar uang kos di sini.” Terena tertawa, mencoba menghibur diri.
“kau rugi jika membayar untuk tempat tinggal seperti ini.” Niky ikut terawa. Ia baru sadar, banyak orang yang memiliki kehidupan tak adil sepertinya. Dia bukanlah satu-satunya spesies terakhir di dunia.

Kami masuk ke dalam gubuk itu. Niky meletakkan ranselnya di atas karpet lusuh yang di gelar di ruang tengah. Lalu seorang laki-laki bertubuh kekar dengan wajah yang garang  keluar dari salah satu kamar yang hanya berpintu gorden.
“Rena, siapa ini? Anak kota?” tanya laki-laki kekar itu pada Terena.
“iya, biasa bang. Dia boleh kerja di sini kan?” Terena memohon. “ya, ya..!”
“Terserah kamu. asal gak ngeropotin.”  Jawab abang itu dengan muka iba.
“makasih bang.” ucap Niky pendek dengan seringai senyum bahagia.
“sama-sama. Panggil aja bang Ali.” Ujar bang Ali sambil lalu. Ternyata orang berwajah garang ini memiliki hati yang baik. Dia mau menampung Niky, juga Terena yang sebelumnya tidak ia kenal.
“Eh, ngomong-ngomong, caramu cari makan gimana? Jangan bilang kamu ngamen.” Niky mengintrogasi.
“jangan ngawur. Nggak cukup uang ngamen buat tinggal di rumah ini, di tambah biaya makan. Bisa-bisa kita Cuma tinggal di rumah kardus yang ancur begitu kena hujan.” Guraunya.
Terus, kamu cari makan pake uang apa? Halal kan? Percuma kamu kabur kalau akhir-akhirnya juga hidup pake uang haram.” Niky baru sadar dengan omongannya yang menyinggung Terena. “eh, sorry! Aku nggak maksud..” Niky bingung ingin bilang apa. Ia tak pernah bisa menjaga mulutnya yang terlalu ingin tau.
“Nggak apa. Aku tau maksudmu. Aku juga nggak akan ngasih kamu makan pake uang haram kok.” Jelas Terena.
“makasih ya.” Ucap Niky dengan senyuman lega.
                                                                          ***

Haripun mulai berganti minggu, minggu berganti bulan. Sudah hampir 2 bulan Niky hidup dengan Terena di rumah reot ini. Tentu Niky sudah terbiasa. Niky mulai membopong tasnya menuju sebuah pasar. Kini ia bekerja di sana. Mengangkat barang-barang dagangan. Yah, hitung hitung membantu Terena. Memang uang yang ia hasilkan tak begitu banyak. Tapi Niky tak pernah lalai untuk mengisi tabungannya. Ia ingin memperbaiki rumah ini, ia ingin hidup lebih layak dengan Terena dan bang Ali. Namun hari demi hari membuat Terena rindu pada ayahnya. Pada kehidupan lamanya.
“Ren, ayo! Bos marah lagi nanti!” Niky menarik tangan Terena, mereka makin dekat sebagai orang senasib. Terena sangat sayang pada Niky, bagai adiknya sendiri.
Di pasar, Niky tampak murung, tak sesemangat sebelumnya. Terena mendekati Niky, berharap ia bisa menghibur.
“Nik, kenapa? Dari tadi mukamu kusut kayak baju cucian yang belom di setrika.” Goda Terena sambil cengengesan.
“ Apa aku salah dengan keputusanku. Aku rindu ayah.” Desah Niky dengan senyuman getir dan tatapan menyesal.
“kamu kangen? Aku tau masalahmu, tapi sebaiknya kamu coba buat balik pulang ke ayahmu. Tak ada resiko bagimu untuk pulang kan? Berbeda denganku.” Tegur Terena. Ia tau Niky bisa memperbaiki masalahnya. Terena yakin Niky lebih kuat dibandingkan Terena.
“baiklah. Aku akan menjenguk ayahku pulang nanti.”
“gitu dong.” Seru Terena bangga sambil memukul punggung Niky pelan.

Sepulang dari bekerja, Niky dan Terena berangkat ke rumah ayah Niky. Terena hanya melihat dari luar, rumah yang sama besar dengan rumahnya dulu. Niky mengendap-endap masuk melewati pagar rumahnya, namun ia tak melihat siapun di sana. Tiba-tiba ayah Niky keluar dengan Ratna yang terlihat menggendong bayi di tangannya. Mereka sudah berkeluarga?secepat itu? Belum lama aku pergi. Jangan-jangan Ratna sudah berbadan dua dari awalnya. Bahkan mereka sudah tak menganggap keberadaanku lagi. Sesal Niky dalam hati. Niky mencoba mendekati Ayahnya.
“hi, ayah.” Sapanya dari kejauhan dengan wajah rindu. Namun apa yang ia harapkan tak sebaik kenyataannya. Ayahnya tetap berlalu meskipun sempat menyadari keberadaan Niky, namun Ratna mendatangi Niky dengan mata mengancam.
“kenapa kau kesini?! jangan ganggu kami lagi ya anak pungut!”  bentak Ratna dengan menodongkan telunjuknya ke arah Niky. Anak pungut? Apa yang ia maksud? Pikirnya bingung dengan perkataan Ratna.
“apa yang kau katakan?” tanyanya memastikan.
“kau tak tau ya? Kasihan sekali. Kau itu hanya anak angkat  ayahmu. Ayahmu membencimu sejak ibumu membawamu kemari sewaktu kau masih bayi.” Jelas Ratna dengan ketus. Pernyataan itu membuat Niky benar-benar drop. “ sekarang pergilah!” Usir Ratna. tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya Niky melangkahkan kaki meninggalkan rumah itu. Niky tak bisa membendung air matanya. Kenapa ia tak tahu dari awal? Ini tak adil! Hidupnya benar-benar tak adil!
Terena hanya bisa mencoba menenangkan  Niky. Ia tau harus berbuat apa. Ia juga tak tau jika semua akan berakhir seironis ini.
“aku tak menyangka semua ini! Kenapa mereka tak bilang dari awal? Kenapa mereka membiaarkanku ada jika aku tak diinginkan?”  Niky benar-benar terisak. Kepalanya terasa berputar dengan semua mimpi buruk ini. Bukan, ini bukan mimpi buruk. Ini nyata, dan ia harus menerima kenyataan ini.
“sabarlah. Mungkin disini memang bukan jalanmu. Jangan menghancurkan dirimu karena kenyataan ini. Bundamu tak ingin kau hancur seperti ini kan?”  ujar Terena menenangkan. “ kau masih punya aku. Aku akan menjagamu, tenang saja.” Terena memeluk Niky lembut dengan seluruh kasih yang ia punya. Ia tau ini berat bagi Niky. Ia akan berjuang agar Niky tak menangis lagi.
“aku ingin bunda!” teriak Niky bagai seorang balita. Itu wajar untuknya. Hanya bundanyalah yang mengharapkannya.
“Tenanglah, bagaimana jika aku menjadi bundamu?” hibur Terena.
Niky menatap Terena bingung. Kini ia mulai mengusap air matanya. “ apa yang kau katakana?”
“aku akan menjadi bundamu, yah memang  umur yang samasekali tak tepat untuk menjadi bunda. Tapi apa salahnya?”
“jika kau bundanya, lalu siapa ayahnya? Jangan bilang bang Ali?aku tak mau.” rengeknya sebal.
“kalau begitu aku akan menjadi bunda sekaligus ayah bagimu.” Ujar Terena. Memang perkataan yang asal. Tapi hal itu membuat secarik senyum tersungging di bibir Niky.
“dasar kau ini!” ledek Niky menertawakan Terena. Tanpa disadari mereka dapat tertawa bersama. Meskipun sebuah ironi baru saja terjdi.
                                                                          ***

4 tahun kemudian..
“Akhirnya kita bisa pindah rumah. Lega deh! Gak ada yang namanya bocor lagi.”
“Yah! Kita akan mengubah hidup kita disini! Ya kan bang?” Terena menyikut lengan bang Ali bangga.
“Niky! Ayo masuk! “ teriak Terena memanggil Niky yang masih berdiri di luar teras.
“ok, Ren!” ucap Niky membalas perintah Terena dan bergegas berlari memasuki rumah baru itu.

Yah, inilah hidup. Kadang memang terlihat konyol. Bahkan untuk hal yang tak terpikirkan sebelumnya, hal yang menurutmu tak mungkin terjadi. Namun inilah hidup. Penuh rintangan, sandiwara, dan.. kekonyolan. Selama kau masih bisa meraih yang lebih baik, raihlah sebelum terlambat. Tutup jurnal lama, dan buka lembar baru. Tak ada kata mustahil untuk memperbaiki hidup ini, meskipun itu dengan cara yang mustahil menurutmu.
                                                                          ***
                                                                               End..


Makasih buat pembaca halaman ini. Memang cerpen yang aneh dan GJ alias gak jelas. Terutama aku baru belajar, alias amatiran. Tapi sekali lagi terimakasih karena telah menghargai tulisanku. Jangan bosan-bosan mampir ke blog ini ya.. :) . Jangan lupa commend-nya ..

Rabu, 19 Desember 2012

Cerpen



Thank’s



“Maaf tuan. Tapi penyakit anda sudah memasuki stadium akhir, dan itu artinya…”
“Artinya aku tak bisa hidup lebih lama lagi?” sela Shin Young tak kuasa melihat keadaan dirinya saat ini.
“Ya. Anda betul. Hidup anda difonis tinggal 6 bulan lagi.” Jelas dokter itu dengan nada pasrah.
Shin Young tak bergeming. Suasanapun mulai hening. Ia hanya bisa duduk terpuruk di atas ranjang berbalut sprai putih itu, sambil merenungi keadaannya. wajahnya yang sepucat susu terlihat kosong. Dokter yang ada di hadapannya pun hanya bisa diam memahami perasaan Shin Young. ia tak bisa berbuat apa-apa selain menyampaikan kabar buruk ini.
“aku ingin pulang hari ini juga.” Ucap Shin memecah keheningan.
“apa maksudmu? Itu akan membuat semuanya makin memburuk.” Tegas sang dokter.
“aku tak peduli. Lagi pula tak ada gunanya aku bertahan jika memang inilah caraku untuk mati.” jawabnya dingin membuat sang dokter tak bisa menahan kemauan Shin.
“baiklah jika itu keputusan anda.”
“oh, iya. Satu lagi! Jangan ceritakan ini semua pada siapapun, terutama pada Cho Ui.”

                                                                           ***

Ui hanya bisa menusuk-nusuk sepotong muffin buatannya yang seharusnya ia makan bersama dengan Shin Young untuk perayaan kepulangannya dari Singapore sekaligus perayaan ultah Cho Ui yang ke 23.  Gadis berdarah China ini mengambil ponselnya dan menekan nomor Shin. Sekian lama menunggu membuatnya resah.
“Shin?” ucapnya setelah tersambung dengan Shin. “Kenapa lama sekali? Apa kau tak jadi pulang?” Tanya Ui dengan nada menyesal.
“Tidak. Aku pasti pulang. Aku tak pernah ingkar janji kan?” Shin meyakinkan.
“Baiklah. Kau tau kan, aku di sini kesepian. Hanya kau orang yang dekat denganku.” Rengek Ui tak kuasa menahan kesendiriannya tanpa Shin.
“Ya. Aku tau. Aku janji akan selalu menjagamu. Kau juga satu-satunya milikku, Aku janji takkan membuatmu kesepian.” Shin tau itu adalah kebohongan. Tapi ia tak bisa membuat Cho Ui menangis lagi. Hanya keberadaannya lah yang bisa membahagiakan gadis itu.

Tak berapa lama, akhirnya Shin datang. Meraka duduk dan memotong cake berlapis toping strawberry di ruang makan yang kecil dan nyaman.  Namun wajah Shin masih pucat bagai orang tak bernyawa di sela kebahagian kecil itu.
“Shin? Apa kau baik-baik saja? Kau terlalu menforsir dirimu. Kau jauh-jauh ke Singapore hanya untuk menyelesaikan proyek yang tak jelas itu. Sebaiknya kau lupakan proyek itu dan uruslah kesehatanmu.” Ucap Ui begitu cemas.
“Aku tak apa. tenang saja.” Shin meyakinkan. Padahal ia sendir tau keadaannya sangat buruk. Ia tak pernah membongkar tentang penyakitnya selama ini pada Ui. Ia pun juga berbohong tentang proyek itu. Kenyataannya tak ada proyek. Ta ada pekerjaan. Tak ada Singapore. Ia tak pernah kesana. Selama in Shin hanya menjalani pengobatan dan berbagai terapi untuk penyembuhan tumornya di Seoul. Tapi semua sia-sia. Ia hanya bisa terus berbohong dan berbohong demi melihat Ui tersenyum.
“kau bilang taka pa? kau tau betapa cemasnya aku?” bentak Ui tak sabar. Perasaan ketakutannya akan kehilangan Shin sangatlah dalam. Ui pun tak bisa membendung air matanya lagi.
“tenanglah. Aku berjanji takkan membuatmu kawatir lagi.” Shin memeluk Cho dan menyandarkan kepala Ui ke dadanya. Mencoba menghapus air mata Ui.
“aku.. sayang padamu. Jadi tetaplah disampingku.” Ui memohon dengan air mata yang mengalir deras.
“Umm.. Ui?” mendadak Shin  dengan canggung bertanya di sela-sela tangisan Ui yang mulai meredam.
“ya?”
“Aku ingin mengatakan sesuatu” ucapnya tak tahan. Ia bingung bagaimana mengatakan keadaannya yang sebenarnya. Bukan kematian yang ia takutkan melainkan keadaan Ui yang akan hancur saat kehilangan dirinya. Shin hanya takut jika Ui tak bisa melupakannya.
“ya? Apa?” Tanya Ui sekali lagi.
“Aku ingin kau melupakanku…”

                                                                          ***

Beberapa hari setelah itu, Shin makin jarang di rumah. Ia lebih sering berdiam di apartemennya sambil menunggu ajal. Komunikasi diantara merekapun semakin canggung. Entah apa yang bisa dia lakukan lagi selain ini. Hanya ini satu-satunya cara agar Ui bisa melupakannya. Meskipun itu dengan jalan yang akan memperburuk perasaan Cho UI, membangun kebencian di hati Cho Ui terhadap Shin. Kebencian yang akan membuat Shin menyesal selama sisa hidupnya. Namun apa peduli Shin. Selama ia tak melihat air mata Ui jatuh lebih deras. Lagi pula tak ada cukup waktu baginya untuk menyesali semua.
Malam hari tampak begitu pekat. Jalanan Seoul Nampak sunyi di tengah gelapnya langit. Tak satupun suara terdengar. Hanya hembusan angin musim dingin yang terasa menyeruak dan suara decit tikus-tikus jalanan yang bernyanyi di tengah malam. Dan satu lagi suara yang nampak dari kejauhan. Suara langkah kaki putus asa.
Ui menemukan alamat apartemen yang ia cari. Apartemen Shin. Namun apa yang ia lihat tak sebaik harapannya. Ia mendengar suara samar perempuan di dalam sana, dan suara Shin.
“bagaimana dengan Ui? Haruskah dengan begini caramu meninggalkannya?”
“aku tak tau lagi bagaimana caranya. Aku ingin melupakan Ui. Ia tak seharusnya berada di hidupku lagi. Aku sudah tak tahan melihatnya begitu. ”
Shin ternyata membenciku? Dia tak ingin aku berada di sisinya. Pikir Cho Ui ragu.
Perasaannya mulai buruk. Ui menitikkan air mata. Ia terisak dengan keadaan Shin yang berubah 180 derajat. Ui hanya bisa menyesal. Ia sadar ia harus melupakan Shin. Shin sudah membencinya. Shin sudah tak tahan melihat dirinya yang manja. Ia sudah tak mengharapkan Ui disisinya. Ia sudah tak seharusnya bergantung pada Shin.

                                                                           ***

Jumat, 26 Oktober 2012

Pembuka


Profil of Luhan



Birth Name: Lu Han
Stage Name: Luhan
Super Power (Badge): Telekinesis
Nickname: Marilyn Monroe, Cute Little Prince
Date of Birth: April 20, 1990
Blood Type: O
Height: 178 cm
Blood Type: O
Nationality: Chinese
Position: Lead Vocalist, Lead Dancer, Face of The Group
Hometown: Beijing Haidian, China
Specialties: Soccer, Rubix cube
Education: Seoul Institute of the Arts majoring – Applied Music
Fun Facts:
- Dia berbagi ruangan dengan Lay di Cina.
- Dia berbagi ruangan dengan Xiumin dan Kris di Korea.
- Tipe ideal
nya wanita yang sopan dan tenang.
- Dia bergabung dengan SM pada tahun 2008 ketika ia pergi ke luar negeri ke Korea untuk belajar (menghadiri Universitas Yonsei sebagai siswa pertukaran), dan suatu hari ketika ia berbelanja di Myeongdong ia me
ndapat perwakilan SM resmi.
- Dia tidak suka orang lain di tempat tidurnya, dia akan menendang mereka pergi jika ada yang
tidur di kamarnya.
- Secara resmi direkrut ke SM di Sistem Casting 2.010 SM.
- Dia
orang santai (biasanya peserta dari China diganggu, namun Lu Han adalah pengecualian).
- Dia suka pakaian yang sederhana.
- Minatnya adalah animasi, seni, video game, komputer, olahraga air, olahraga alam, basket, bisbol, sepak bola, musik, konser / klub, televisi, hewan,
travel, menyanyi dan Cube Rubix.

sebenarnya blog ini buat posting cerpen"ku,
gak tau knapa aku pajang profil Luhan, tapi
Itu aja tentang Luhan..
Kalau tertarik silakan di baca..
Kalau nggak lewati aja.. ^_^